Dunia-Ilmu.com, JAKARTA – Seluruh dunia merayakan Hari Nol Diskriminasi dan Hari Perempuan Internasional setiap bulan Maret.
Di Indonesia, peringatan Hari Tanpa Diskriminasi dan Hari Perempuan tahun ini diselenggarakan dengan dihadiri oleh perwakilan dari pemerintah, akademisi, pelaku usaha, masyarakat dan media. Ini dikenal sebagai penta-helix poligonal.
Tahun ini, peringatan Hari Nol Diskriminasi dan Hari Perempuan Internasional digelar di Gedung Nusantara V, Kompleks Gedung DPR/MPR RI, Jakarta, Rabu (15/3/2023).
ReThinkbyAWR bekerja sama dengan Diesel One Solidarity, UNAIDS Indonesia dan ILUNI UI menyelenggarakan diskusi terbuka dengan tema “Penguatan Kerangka Hukum Nasional untuk Melindungi Kelompok Rentan dari Diskriminasi”, bekerja sama dengan Majelis Rakyat Akademisi (MPR RI). Memperingati Hari Nol Diskriminasi dan Hari Perempuan Internasional.
Dalam diskusi tersebut, Ketua MPR Bambang Sosatio memaparkan hubungan antara IWD dan ZDD.
Menurutnya, perempuan merupakan salah satu kelompok masyarakat yang paling rentan dan sering menjadi korban diskriminasi.
“Perempuan adalah kelompok yang paling rentan terhadap diskriminasi. Menurut Bank Dunia, skor Indonesia adalah 64,4. sedangkan Laos 88,1; Singapura 82,5; Filipina 788; Thailand 87.1. Hanya di Asia Tenggara skor Indonesia masih tertinggal, kata Bambang Sosatio.
Menurut Bamsot, perlakuan diskriminatif di Indonesia harus berdasarkan Pancasila, Binikeka Tungal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan ciri khas bangsa ini menurut UUD 1945. Ini adalah. Itu namanya empat pilar MPR.
“Mengapa empat pilar MPR itu penting? Karena kita merasa ada yang kurang di negara kita. Ceramah dan mata kuliah Pancasila ditiadakan. Pengertian Pancasila dibiarkan pasar bebas sehingga terorisme dan lain-lain bisa muncul, kata Bambang Sosatio.
Sependapat dengan Bambang Soesatyo, Wakil Ketua MPR Arsul Sani menegaskan kembali pentingnya empat pilar MPR berdasarkan budaya Indonesia.
Baca juga: Kak Emin: Imlek menjadi inspirasi untuk menghilangkan diskriminasi
“Biasanya kalau bicara diskriminasi sesama kita selalu mengacu pada dunia Barat. Namun, filosofi mereka berbeda. Jadi kalau bicara diskriminasi lebih baik pakai referensi dan perspektif bangsa kita sendiri. Kontrak sosial kita berbeda dengan negara-negara lain dalam UUD 1945, Perancis, Belanda, Jerman, Amerika Serikat.Ketika kita berbicara tentang diskriminasi, kita tidak boleh lupa bahwa kita tidak meninggalkan konteks pemerintahan atau budaya.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR Lestari Mordijat menyampaikan pentingnya advokasi seluruh lapisan masyarakat terhadap isu-isu kunci kesetaraan gender yang masih dihadapi bangsa Indonesia.
Lestari Moerdijat menjelaskan, sebagai alat untuk melindungi warga negara dari ancaman kekerasan seksual yang sebagian besar korbannya adalah perempuan dan anak, Indonesia saat ini memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Namun, peraturan pelaksanaan UU TPKS belum sepenuhnya tersedia, tambahnya.
Mirisnya, banyak kasus kekerasan seksual yang berakhir damai karena UU TPKS belum sepenuhnya dilaksanakan, tambahnya.
Sumber artikel =https://www.tribunnews.com/nasional/2023/03/16/bambang-soesatyo-perempuan-merupakan-kelompok-paling-rentan-mengalami-diskriminasi