Profesor Rudi Harjanto: Hiperrealitas merupakan tantangan kuat di era digitalisasi.

Profesor Rudi Harjanto: Hiperrealitas merupakan tantangan kuat di era digitalisasi.

Dunia-Ilmu.com, JAKARTA – Dunia kini telah memasuki era digitalisasi yang membuat kita dihadapkan pada tantangan hiperaktivitas karena banyaknya informasi yang tersedia di berbagai platform digital.

 

Jika informasinya kontradiktif, menjadi sulit untuk menyimpulkan apa sebenarnya isi informasi yang hendak disampaikan dan berpotensi menimbulkan hiperbola.

 

Profesor Dr. Rudy Harjanto, M.S.N. Ia berpendapat, hiperrealitas sebagai aksiomatik bahwa setiap ‘kita’ adalah ‘subjek’, kemudian hiperrealitas mengeksplorasi ‘subjek’, mengkonstruksi baik teori maupun praktik.

 

Subjek dapat menjadi tempat di mana makna manusia diproduksi dan diperebutkan, dan karena itu menjadi tempat kekuasaan.

 

Dengan mengembangkan pemahaman tentang subjek—identitas dan asal-usulnya—kita mulai memahami diri kita sendiri dan dunia tempat kita berada dan pernah berada.

 

Argumen ini menggemakan eksplorasi terkenal Heidegger (1983) tentang sifat keberadaan sebagai hal yang lumrah dan sudah ada di dunia. Dari perspektif fenomenologis, inilah posisi subjek (Merleau-Ponty 1962).

 

Seperti yang dijelaskan Profesor Rudy, hiperrealitas dapat lahir dari banyaknya informasi di jejaring sosial dengan menambahkan informasi ke informasi yang diberikan oleh orang lain dalam berbagai aplikasi.

 

“Pengguna dalam aplikasi yang sama dapat menambah atau bahkan menghapus konten yang bertentangan dengan pandangan mereka,” jelasnya pada pengukuhan Pengurus Asosiasi Ilmu Komunikasi Perguruan Tinggi (ASPIKOM) wilayah Jabodetabek 2022-2025. .

 

Baca juga: Langkah WhatsApp Cegah Penyebaran Hoax Jelang Pemilu 2024

 

Kemampuan memberikan informasi tambahan ini, lanjut Prof. Rudy membuka peluang bagi audiens untuk mengakses dua sumber informasi – yang pertama berada di bawah kendali pemilik akun aplikasi, dan yang lainnya berada di luar kendali langsung pemilik akun aplikasi.

 

Perbedaan informasi ini berpotensi mengubah penilaian, daya tarik, dan kredibilitas konten yang disediakan oleh pemilik akun aplikasi sosial.

 

Jika informasi ini kontradiktif, akan sulit untuk sampai pada kesimpulan tentang apa yang ingin disampaikan oleh informasi tersebut dan kemungkinan menjadi super-realitas.

 

“Hyperreality seringkali berlawanan dengan simulasi dan representasi. Simulasi adalah simulacrum dalam arti khusus, sesuatu bukanlah reproduksi sesuatu yang lain sebagai acuan model, tetapi merupakan reproduksi dirinya sendiri,” lanjut Dewan Pakar ASPIKOM.

 

Baca juga: Cara Download FacePlay, Aplikasi Edit Foto yang Sedang Viral di Medsos

 

Simulacra (Baudrillard, 1981) digunakan untuk menjelaskan kegagalan realitas. Situasi ini menjelaskan bahwa realitas berbentuk berbagai model rekayasa seperti gambar, ilusi, simulasi, dll.

 

Model rekayasa dianggap lebih realistis daripada kenyataan, sehingga perbedaan antara kenyataan dan simulasi menjadi kabur.

 

Sumber artikel =https://www.tribunnews.com/pendidikan/2022/12/11/prof-rudy-harjanto-hiperealitas-jadi-tantangan-kuat-di-era-digitalisasi


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

POST ADS1

POST ADS 2